Halaman

Rabu, 02 Oktober 2013

"Asal-Usul Nenek Moyang Orang Minangkabau"



Pertanyaan soal asal-usul leluhur penduduk Minangkabau sesungguhnya bukan isu baru karena sudah sejak lama menjadi perbincangan. Namun sayangnya, jawaban terhadap pertanyaan tersebut tidak ada yang meyakinkan, banyak yang masih mereka-reka dan berupa hipotesa belaka. Ketidak pastian ini barangkali ada kaitannya dengan tidak terbiasanya orang Minang jaman dahulu dengan budaya sejarah tulisan.
Kenyataan ini membuat tim penyusun buku Sejarah Minangkabau oleh drs. M.D. Mansoer dkk di tahun 1970 harus bekerja ekstra keras. Yang banyak beredar adalah buku-buku tambo seperti “Tambo Alam Minangkabau” dan “kaba” yang cukup banyak jumlahnya, namun hanya selintas menyinggung perihal kehidupan orang Minangkabau di masa lalu. Hingga tahun 1970 masih belum ada usaha yang serius dan efektif untuk menyelidiki dan menyaring fakta-fakta sejarah Minangkabau dari tambo-tambo dan kaba-kaba itu. Cerita-cerita rakyat yang dipusakai (sebagian besar secara lisan), turun temurun dan baru sebagian kecil yang dibukukan, setidak-tidaknya berisi “2% fakta sejarah” yang tenggelam dalam “98% mitologi”. Bagaimana menggali dan menyisihkan 2% fakta sejarah dari 98% (lumpur) mitologi itu merupakan persoalan tersendiri. Pada umumnya tambo-tambo dan kaba-kaba itu baru diusahakan (sebagian kecil) penulisannya, ketika Minangkabau telah mengenal tulisan. Tulisan itu, abjad Arab, lazim disebut “huruf Melayu.” Kenyataan ini mengandung makna, bahwa orang Minangkabau baru pandai tulis baca, setelah mereka beragama Islam.
Berikut ini marilah kita ikuti rangkuman pandangan dan kesimpulan dari para sejarawan terhadap asal penduduk Minangkabau di Sumatera Barat.
Menurut sebagian sejarawan, kebudayaan Minang diperkirakan bermula sekitar 500 tahun SM, ketika rumpun bangsa Melayu Muda masuk ke Ranah Minang membawa kebudayaan Perunggu. Pembauran bangsa Melayu Tua dan Melayu Muda menurunkan leluhur suku Minangkabau sebagai pendukung kebudayaan Perunggu dan Megalitikum.
Adapun peninggalan jaman pra-sejarah berupa situs-situs Menhir hanya ditemukan di kabupaten Limapuluh Kota (kecamatan Suliki dan Guguk). Situs-situs Megalith tersebut tersebar di daerah Koto Tinggi, Balubus, Sungai Talang, Koto Gadang, Ateh Sudu dan Talang Anau. Di desa Parit (daerah Koto Tinggi) berhasil ditemukan situs Megalith terbanyak yakni 380 Menhir, yang diantaranya mencapai tinggi 3,26m.
Di Minangkabau istilah yang dipakai untuk menhir adalah batu tagak. Istilah ini biasa dipergunakan oleh masyarakat Minangkabau yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti batu berdiri.
Menhir merupakan bagian dari produk tradisi megalitik yang menggunakan batu-batu besar sebagai material kebudayaannya; mega berarti besar dan lithos berarti batu. Sejarah pendirian menhir telah berlangsung sejak zaman neolitik sekitar 4500 tahun yang lalu. Awal kemunculannya hampir bersamaan dengan produk tradisi megalitik lainnya yang seangkatan seperti dolmen, teras berundak (bertingkat) dan lain-lain.
Di daerah darek, daerah inti kebudayaan Minangkabau, menhir ditemukan paling banyak di kabupaten Limapuluh Kota, kemudian disusul dengan kabupaten Tanah Datar. Di kabupaten Tanah Datar dijumpai ribuan menhir bersamaan dengan temuan-temuan lain seperti batu dakon dan lumpang batu. Menhir-menhir tersebut  muncul dalam bentuk yang beragam, ada yang berbentuk tanduk, pedang, phallus dan beberapa bentuk kepala binatang.
Di kabupaten Tanah Datar juga terdapat menhir-menhir yang sebetulnya sudah difungsikan sebagai nisan kubur Islam yang hampir semuanya berorientasi menghadap ke utara-selatan. Dengan demikian dapat dipastikan menhir-menhir di Kabupaten Tanah Datar umurnya jauh lebih muda jika dibandingkan dengan menhir-menhir di Kabupaten Limapuluh Kota.

Melayu Purba Pembawa Tradisi Megalitik ke Minangkabau?
Pada ekskavasi arkeologis yang dilakukan di situs megalitik Ronah, Bawah Parit, Belubus berhasil ditemukan rangka manusia dari penggalian menhir di lokasi tersebut. Di Bawah Parit dan Belubus ditemukan rangka manusia yang berorientasi hadap barat laut – tenggara, sementara di Ronah sebagian berorientasi timur laut – barat daya, dan sebagian lagi berorientasi utara – selatan (Boedhisampurno 1991).
Jenis rangka manusia tersebut dapat digolongkan sebagai ras Mongoloid (Boedisampurno 1991: 41), yang mengandung unsur Austromelanesoid yang diperkirakan hidup 2000-3000 tahun lalu (Aziz 1999).
Menurut Kern dan Heine Geldern, seperti yang dikutip Soekmono (1973), migrasi ras Mongoloid dari daratan Asia ke Nusantara telah berlangsung dalam dua gelombang besar. Gelombang pertama mulai pada masa neolitikum yang membawa budaya kapak bersegi terjadi sekitar 2000 SM yang oleh para ahli digolongkan sebagai kelompok Melayu Tua (Proto Melayu), sementara itu gelombang kedua muncul pada zaman logam yang membawa kebudayaan Dongson yang dimulai 500 SM, digolongkan sebagai kelompok Melayu Muda (Deutro Melayu). Soekmono mengatakan bahwa pada zaman logam ini disamping kebudayaan logam, juga dibawa kebudayaan megalitik (kebudayaan yang menghasilkan bangunan dari batu-batu besar) sebagai cabang kebudayaan Dongson (Soekmono 1973).
(Dongson adalah nama tempat di selatan Hanoi yang dianggap sebagai asal kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Konon kebudayaan Dongson ini dipengaruhi oleh kebudayaan Hallstatt, Austria).
Tampaknya kebudayaan ini dikembangkan oleh ras Mongoloid yang berpangkalan di Indo China dan berkembang dengan pesatnya di zaman Megalitikum dan zaman Hindu. Nenek moyang orang Minangkabau itu datang dari daratan Indo China terus mengarungi Lautan Cina Selatan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian memudiki Sungai Kampar, Siak dan Indragiri. Sebagian diantaranya mengembangkan kebudayaan serta peradaban mereka di sekitar Kabupaten Limapuluh Kota sekarang.
Dengan ditemukannya rangka manusia tersebut telah memperkuat teori bahwa telah terjadi migrasi ras Melayu Purba (yang berbahasa Austronesia) ke Sumatera, terutama Sumatera bagian Tengah. Oleh sebab itu barangkali kita sepakat bahwa nenek moyang bangsa Minangkabau yang berasal dari daratan Asia, yang telah datang ke wilayah ini mulai sejak zaman pra-sejarah dapat digolongkan ke dalam Melayu Muda (Deutro Melayu).
Di dalam historiografis tradisional, seperti kaba (tradisi lisan) dan tambo (yang bagi kalangan tertentu mempercayainya 100%) dikatakan Minangkabau terdiri atas tiga luhak, selalu dikatakan dan sudah menjadi paradigma tunggal bahwa Tanah Datar adalah luhak tertua tempat dirintis dan disusun pertama kali adat istiadat Minangkabau (Agam sebagai yang tengah dan Limapuluh Kota dianggap sebagai Luhak Nan Bungsu). Dengan adanya temuan tradisi megalitik di Limapuluh Kota yang lebih tua dari Tanah Datar, paradigma tradisional itu kini dipertanyakan kembali (Herwandi 2006).
Sementara menurut Bellwood (1985), penduduk Sumatera adalah imigran dari Taiwan dengan jalur dari Taiwan ke Pilipina, melalui Luzon terus ke Kalimantan dan kemudian ke Sumatera. Kesimpulan ini diambil Bellwood berdasarkan perbandingan bahasa. Bahasa yang digunakan oleh penduduk Sumatera, menurut Bellwood termasuk kelompok Western Malayo Polynesian (WMP) yang merupakan turunan dari Proto Malayo Polynesian (PMP). PMP adalah turunan dari Proto Austronesian (PAN) yang diperkirakan digunakan oleh penduduk Taiwan pada sekitar tahun 3000 SM.
Dari hasil penelitian, bahasa Minangkabau 50% kognat dengan PMP.
Jadi menurut kajian awal dan bukti linguistis, disimpulkan bahwa dialek bahasa yang konservatif ditemui di kabupaten Limapuluh Kota. Daerah tersebut dihipotesiskan sebagai daerah pertama yang didiami oleh orang Minangkabau di Sumatera Barat, sesuai dengan bukti arkeologis yang dibahas di awal artikel ini.
Dengan demikian cerita yang ada dalam tambo dan kaba bahwa Tanah Datar merupakan daerah tertua di Minangkabau tidaklah masuk akal, hanya suatu mitos belaka. Logikanya, perluasan wilayah Minangkabau dari daratan rendah ke daratan tinggi; melalui sungai atau pantai ke pegunungan (Nadra, 1999).



Pandangan kontroversial Professor Stephen Oppenheimer
Buku Eden in The East karya Professor Stephen Oppenheimer yang mengulas soal  Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara mengisahkan bahwa Indonesia dan sekitarnya pernah menjadi benua dan tempat peradaban manusia di penghujung Zaman Es. Professor Stephen Oppenheimer adalah seorang peneliti dari Universitas Oxford di Inggris, pakar genetika yang juga mendalami antropologi dan folklore yang mengkaji dongeng-dongeng dunia. Oppenheimer meyakini bahwa Indonesia dan sekitarnya pernah menjadi benua dan tempat peradaban manusia di penghujung Zaman Es. Benua ini disebutnya dengan istilah Sundaland.
Dalam buku tersebut, Oppenheimer seolah memutar balik sejarah dunia. Bila selama ini sejarah mencatat bahwa induk peradaban manusia modern itu berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia, maka Oppenheimer punya tesis sendiri.
Buku Eden in the East merupakan hasil penelitian Oppenheimer selama bertahun-tahun yang dilakukannya di berbagai negara. Benua Sundaland yang disebut oleh Oppenheimer tentu saja tidak bisa dibayangkan seperti bentuk wilayah ASEAN saat ini yang terdiri dari Indonesia, Semenanjung Malaysia dan Laut China Selatan. Wilayah ini dulunya masih menjadi satu, yaitu Sundaland.
Benua ini menurut Oppenheimer ada pada sekitar 14.000 tahun yang silam, sudah didiami oleh manusia.  Saat itu, Taiwan terhubung langsung dengan China. Tidak ada Laut Jawa, Selat Malaka dan Laut China Selatan. Semua adalah daratan kering yang menghubungkan Sumatera, Jawa, Kalimantan dan China. Yang dari dahulu sudah terpisah lautan adalah Sulawesi, Maluku dan Papua yang memiliki laut dalam.
Menurut Oppenheimer, dari 14.000 tahun lalu itulah Zaman Es mulai berakhir. Oppenheimer menyebutnya banjir besar. Namun menurut dia, banjir ini bukannya terjadi mendadak, melainkan naik perlahan-lahan.
Dalam periode banjir pertama, air laut naik sampai 50 meter. Ini terjadi dalam 3.000 tahun. Separuh daratan yang menghubungkan China dengan Kalimantan, terendam air.
Kemudian terjadilah banjir kedua pada 11.000 tahun lalu. Air laut naik lagi 30 meter selama 2.500 tahun. Semenanjung Malaysia masih menempel dengan Sumatera. Namun Jawa dan Kalimantan sudah terpisah. Laut China Selatan mulai membentuk seperti yang ada hari ini.
Oppenheimer lantas menambahkan, banjir ketiga terjadi pada 8.500 tahun lalu. Benua Sundaland akhirnya tenggelam sepenuhnya karena air naik lagi 20 meter. Terbentuklah jajaran pulau-pulau Indonesia, dan Semenanjung Malaysia terpisah dengan Nusantara.
Meskipun naik perlahan, Oppenheimer mengatakan kenaikan air laut ini sangat berpengaruh kepada seluruh manusia penghuni Sundaland. Mereka pun terpaksa berimigrasi, menyebar ke seluruh dunia.
Pandangan kontroversial dari Oppenheimer ditanggapi beragam oleh para koleganya. Sebagian arkeolog percaya pada bukti-bukti yang dikemukakan Oppenheimer, sementara sejumlah arkeolog yang tetap yakin bahwa orang Indonesia berasal dari Taiwan. Tapi belakangan ini sejumlah arkeolog juga menunjukkan bukti betapa keterampilan lokal, seperti berlayar dan menangkap ikan, telah ada sepuluh ribu tahun lalu, dan bercocok tanam di Indonesia sudah ada lebih dari empat ribu tahun lalu.
Belakangan, kelompok peneliti yang merupakan teman sejawat dari University of Oxford dan University of Leeds mengumumkan hasil penelitiannya dalam jurnal “Molecular Biology and Evolution” edisi Maret dan Mei 2008 dalam makalah berjudul:
Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia” (Soares et al., 2008) dan “New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia” (Richards et al., 2008).
Richards et al. (2008) berdasarkan penelitian DNA menantang teori konvensional saat ini bahwa penduduk Asia Tenggara saat ini (Filipina, Indonesia, dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000 (Neolitikum) tahun yang lalu. Tim peneliti menunjukkan justru yang terjadi adalah sebaliknya dan lebih awal, bahwa penduduk Taiwan berasal dari penduduk Sundaland yang bermigrasi akibat Banjir Besar di Sundaland.
Pemecahan garis-garis mitochondrial DNA (yang diwarisi para perempuan) telah berevolusi cukup lama di Asia Tenggara sejak manusia modern pertama kali datang ke wilayah ini sekitar 50.000 tahun yang lalu.
Ciri garis-garis DNA menunjukkan penyebaran populasi pada saat yang bersamaan dengan naiknya muka laut di wilayah ini dan juga menunjukkan migrasi ke Taiwan, ke timur ke New Guinea dan Pasifik, dan ke barat ke daratan utama Asia Tenggara – dalam 10.000 tahun.
Sementara itu Soares et al. (2008) menunjukkan bahwa haplogroup E, suatu komponen penting dalam keanekaragaman mtDNA (DNA mitokondria), berevolusi selama 35.000 tahun terakhir, dan secara dramatik tiba-tiba menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia Tenggara pada periode sekitar awal Holosen, pada saat yang bersamaan dengan tenggelamnya Sundaland menjadi laut-laut Jawa, Malaka, dan sekitarnya. Lalu komponen ini mencapai Taiwan dan Oceania lebih baru, sekitar 8000 tahun yang lalu. Ini membuktikan bahwa global warming dan naiknya permukaan laut di ujung Zaman Es 15.000–7.000 tahun yang lalu, sebagai penggerak utama human diversity di wilayah ini.
Nah, kini Anda lebih percaya kepada teori yang mana?
Apakah condong kepada pendapat yang selama ini dipegang oleh mayoritas sejarawan bahwa nenk moyang orang Minangkabau berasal dari Melayu Purba yang membawa kebudayaan Dongson, atau teori Oppenheimer yang beranggapan sebaliknya, justru  penduduk Sundaland (Nusantara) yang bermigrasi ke Taiwan dan lain-lain akibat Banjir Besar di Sundaland? Kalau Anda setuju dengan Oppenheimer, artinya bangsa kita yang menjadi saudara tua dari bangsa Cina, Taiwan dan Jepang.
Wallahualam.





Daftar Ke Pustakaan
Sejarah Minangkabau, Drs. M.D. Mansoer dkk, Bhratara, 1970
Nadra, Daerah Pertama Yang Didiami oleh Orang Minangkabau Berdasarkan Bukti Linguistis: Kajian Awal, 1999
Herwandi, Limopuluah Koto Luhak Nan Tuo: Menhir, Jejak Budaya Minangkabau Membalik Paradigma Tradisional, 2006
http://blogs.itb.ac.id/iban/2012/01/31/sundaland-part-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar