Pertanyaan soal asal-usul leluhur
penduduk Minangkabau sesungguhnya bukan isu baru karena sudah sejak lama
menjadi perbincangan. Namun sayangnya, jawaban terhadap pertanyaan tersebut
tidak ada yang meyakinkan, banyak yang masih mereka-reka dan berupa hipotesa
belaka. Ketidak pastian ini barangkali ada kaitannya dengan tidak terbiasanya
orang Minang jaman dahulu dengan budaya sejarah tulisan.
Kenyataan ini membuat tim penyusun
buku Sejarah Minangkabau oleh drs. M.D. Mansoer dkk di tahun 1970 harus
bekerja ekstra keras. Yang banyak beredar adalah buku-buku tambo seperti “Tambo
Alam Minangkabau” dan “kaba” yang cukup banyak jumlahnya, namun
hanya selintas menyinggung perihal kehidupan orang Minangkabau di masa lalu.
Hingga tahun 1970 masih belum ada usaha yang serius dan efektif untuk
menyelidiki dan menyaring fakta-fakta sejarah Minangkabau dari tambo-tambo dan
kaba-kaba itu. Cerita-cerita rakyat yang dipusakai (sebagian besar secara
lisan), turun temurun dan baru sebagian kecil yang dibukukan, setidak-tidaknya
berisi “2% fakta sejarah” yang tenggelam dalam “98% mitologi”. Bagaimana
menggali dan menyisihkan 2% fakta sejarah dari 98% (lumpur) mitologi itu
merupakan persoalan tersendiri. Pada umumnya tambo-tambo dan kaba-kaba itu baru
diusahakan (sebagian kecil) penulisannya, ketika Minangkabau telah mengenal
tulisan. Tulisan itu, abjad Arab, lazim disebut “huruf Melayu.” Kenyataan ini
mengandung makna, bahwa orang Minangkabau baru pandai tulis baca, setelah
mereka beragama Islam.
Berikut ini marilah kita ikuti
rangkuman pandangan dan kesimpulan dari para sejarawan terhadap asal penduduk
Minangkabau di Sumatera Barat.
Menurut sebagian sejarawan,
kebudayaan Minang diperkirakan bermula sekitar 500 tahun SM, ketika rumpun bangsa
Melayu Muda masuk ke Ranah Minang membawa kebudayaan Perunggu. Pembauran bangsa
Melayu Tua dan Melayu Muda menurunkan leluhur suku Minangkabau sebagai
pendukung kebudayaan Perunggu dan Megalitikum.
Adapun peninggalan jaman pra-sejarah
berupa situs-situs Menhir hanya ditemukan di kabupaten Limapuluh Kota
(kecamatan Suliki dan Guguk). Situs-situs Megalith tersebut tersebar di daerah
Koto Tinggi, Balubus, Sungai Talang, Koto Gadang, Ateh Sudu dan Talang Anau. Di
desa Parit (daerah Koto Tinggi) berhasil ditemukan situs Megalith terbanyak
yakni 380 Menhir, yang diantaranya mencapai tinggi 3,26m.
Di Minangkabau istilah yang dipakai
untuk menhir adalah batu tagak. Istilah ini biasa dipergunakan oleh
masyarakat Minangkabau yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
berarti batu berdiri.
Menhir merupakan bagian dari produk
tradisi megalitik yang menggunakan batu-batu besar sebagai material
kebudayaannya; mega berarti besar dan lithos berarti batu.
Sejarah pendirian menhir telah berlangsung sejak zaman neolitik sekitar 4500
tahun yang lalu. Awal kemunculannya hampir bersamaan dengan produk tradisi
megalitik lainnya yang seangkatan seperti dolmen, teras berundak (bertingkat)
dan lain-lain.
Di daerah darek, daerah inti
kebudayaan Minangkabau, menhir ditemukan paling banyak di kabupaten Limapuluh
Kota, kemudian disusul dengan kabupaten Tanah Datar. Di kabupaten Tanah Datar
dijumpai ribuan menhir bersamaan dengan temuan-temuan lain seperti batu dakon
dan lumpang batu. Menhir-menhir tersebut muncul dalam bentuk yang
beragam, ada yang berbentuk tanduk, pedang, phallus dan beberapa bentuk kepala
binatang.
Di kabupaten Tanah Datar juga
terdapat menhir-menhir yang sebetulnya sudah difungsikan sebagai nisan kubur
Islam yang hampir semuanya berorientasi menghadap ke utara-selatan. Dengan
demikian dapat dipastikan menhir-menhir di Kabupaten Tanah Datar umurnya jauh
lebih muda jika dibandingkan dengan menhir-menhir di Kabupaten Limapuluh Kota.
Melayu Purba Pembawa Tradisi
Megalitik ke Minangkabau?
Pada ekskavasi arkeologis yang
dilakukan di situs megalitik Ronah, Bawah Parit, Belubus berhasil ditemukan
rangka manusia dari penggalian menhir di lokasi tersebut. Di Bawah Parit dan
Belubus ditemukan rangka manusia yang berorientasi hadap barat laut – tenggara,
sementara di Ronah sebagian berorientasi timur laut – barat daya, dan sebagian
lagi berorientasi utara – selatan (Boedhisampurno 1991).
Jenis rangka manusia tersebut dapat
digolongkan sebagai ras Mongoloid (Boedisampurno 1991: 41), yang mengandung
unsur Austromelanesoid yang diperkirakan hidup 2000-3000 tahun lalu (Aziz
1999).
Menurut Kern dan Heine Geldern,
seperti yang dikutip Soekmono (1973), migrasi ras Mongoloid dari daratan Asia
ke Nusantara telah berlangsung dalam dua gelombang besar. Gelombang pertama
mulai pada masa neolitikum yang membawa budaya kapak bersegi terjadi
sekitar 2000 SM yang oleh para ahli digolongkan sebagai kelompok Melayu Tua (Proto
Melayu), sementara itu gelombang kedua muncul pada zaman logam yang membawa
kebudayaan Dongson yang dimulai 500 SM, digolongkan sebagai kelompok Melayu
Muda (Deutro Melayu). Soekmono mengatakan bahwa pada zaman logam ini
disamping kebudayaan logam, juga dibawa kebudayaan megalitik (kebudayaan yang
menghasilkan bangunan dari batu-batu besar) sebagai cabang kebudayaan Dongson
(Soekmono 1973).
(Dongson adalah nama tempat di
selatan Hanoi yang dianggap sebagai asal kebudayaan perunggu di Asia Tenggara.
Konon kebudayaan Dongson ini dipengaruhi oleh kebudayaan Hallstatt, Austria).
Tampaknya kebudayaan ini
dikembangkan oleh ras Mongoloid yang berpangkalan di Indo China dan berkembang
dengan pesatnya di zaman Megalitikum dan zaman Hindu. Nenek moyang orang
Minangkabau itu datang dari daratan Indo China terus mengarungi Lautan Cina
Selatan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian memudiki Sungai Kampar, Siak
dan Indragiri. Sebagian diantaranya mengembangkan kebudayaan serta peradaban
mereka di sekitar Kabupaten Limapuluh Kota sekarang.
Dengan ditemukannya rangka manusia
tersebut telah memperkuat teori bahwa telah terjadi migrasi ras Melayu Purba
(yang berbahasa Austronesia) ke Sumatera, terutama Sumatera bagian Tengah. Oleh
sebab itu barangkali kita sepakat bahwa nenek moyang bangsa Minangkabau yang
berasal dari daratan Asia, yang telah datang ke wilayah ini mulai sejak zaman
pra-sejarah dapat digolongkan ke dalam Melayu Muda (Deutro Melayu).
Di dalam historiografis tradisional,
seperti kaba (tradisi lisan) dan tambo (yang bagi kalangan
tertentu mempercayainya 100%) dikatakan Minangkabau terdiri atas tiga luhak,
selalu dikatakan dan sudah menjadi paradigma tunggal bahwa Tanah Datar adalah
luhak tertua tempat dirintis dan disusun pertama kali adat istiadat Minangkabau
(Agam sebagai yang tengah dan Limapuluh Kota dianggap sebagai Luhak Nan
Bungsu). Dengan adanya temuan tradisi megalitik di Limapuluh Kota yang lebih
tua dari Tanah Datar, paradigma tradisional itu kini dipertanyakan kembali
(Herwandi 2006).
Sementara menurut Bellwood (1985),
penduduk Sumatera adalah imigran dari Taiwan dengan jalur dari Taiwan ke
Pilipina, melalui Luzon terus ke Kalimantan dan kemudian ke Sumatera.
Kesimpulan ini diambil Bellwood berdasarkan perbandingan bahasa. Bahasa yang
digunakan oleh penduduk Sumatera, menurut Bellwood termasuk kelompok Western
Malayo Polynesian (WMP) yang merupakan turunan dari Proto Malayo Polynesian
(PMP). PMP adalah turunan dari Proto Austronesian (PAN) yang diperkirakan
digunakan oleh penduduk Taiwan pada sekitar tahun 3000 SM.
Dari hasil penelitian, bahasa
Minangkabau 50% kognat dengan PMP.
Jadi menurut kajian awal dan bukti linguistis,
disimpulkan bahwa dialek bahasa yang konservatif ditemui di kabupaten Limapuluh
Kota. Daerah tersebut dihipotesiskan sebagai daerah pertama yang didiami oleh
orang Minangkabau di Sumatera Barat, sesuai dengan bukti arkeologis yang
dibahas di awal artikel ini.
Dengan demikian cerita yang ada
dalam tambo dan kaba bahwa Tanah Datar merupakan daerah tertua di Minangkabau
tidaklah masuk akal, hanya suatu mitos belaka. Logikanya, perluasan wilayah
Minangkabau dari daratan rendah ke daratan tinggi; melalui sungai atau pantai
ke pegunungan (Nadra, 1999).
Pandangan kontroversial Professor
Stephen Oppenheimer
Buku Eden in The East karya
Professor Stephen Oppenheimer yang mengulas soal Benua yang Tenggelam
di Asia Tenggara mengisahkan bahwa Indonesia dan sekitarnya pernah menjadi
benua dan tempat peradaban manusia di penghujung Zaman Es. Professor Stephen
Oppenheimer adalah seorang peneliti dari Universitas Oxford di Inggris, pakar
genetika yang juga mendalami antropologi dan folklore yang mengkaji dongeng-dongeng
dunia. Oppenheimer meyakini bahwa Indonesia dan sekitarnya pernah menjadi benua
dan tempat peradaban manusia di penghujung Zaman Es. Benua ini disebutnya
dengan istilah Sundaland.
Dalam buku tersebut, Oppenheimer
seolah memutar balik sejarah dunia. Bila selama ini sejarah mencatat bahwa
induk peradaban manusia modern itu berasal dari Mesir, Mediterania dan
Mesopotamia, maka Oppenheimer punya tesis sendiri.
Buku Eden in the East merupakan
hasil penelitian Oppenheimer selama bertahun-tahun yang dilakukannya di
berbagai negara. Benua Sundaland yang disebut oleh Oppenheimer tentu saja tidak
bisa dibayangkan seperti bentuk wilayah ASEAN saat ini yang terdiri dari
Indonesia, Semenanjung Malaysia dan Laut China Selatan. Wilayah ini dulunya
masih menjadi satu, yaitu Sundaland.
Benua ini menurut Oppenheimer ada
pada sekitar 14.000 tahun yang silam, sudah didiami oleh manusia. Saat
itu, Taiwan terhubung langsung dengan China. Tidak ada Laut Jawa, Selat Malaka
dan Laut China Selatan. Semua adalah daratan kering yang menghubungkan
Sumatera, Jawa, Kalimantan dan China. Yang dari dahulu sudah terpisah lautan
adalah Sulawesi, Maluku dan Papua yang memiliki laut dalam.
Menurut Oppenheimer, dari 14.000
tahun lalu itulah Zaman Es mulai berakhir. Oppenheimer menyebutnya banjir
besar. Namun menurut dia, banjir ini bukannya terjadi mendadak, melainkan naik
perlahan-lahan.
Dalam periode banjir pertama, air
laut naik sampai 50 meter. Ini terjadi dalam 3.000 tahun. Separuh daratan yang
menghubungkan China dengan Kalimantan, terendam air.
Kemudian terjadilah banjir kedua
pada 11.000 tahun lalu. Air laut naik lagi 30 meter selama 2.500 tahun.
Semenanjung Malaysia masih menempel dengan Sumatera. Namun Jawa dan Kalimantan
sudah terpisah. Laut China Selatan mulai membentuk seperti yang ada hari ini.
Oppenheimer lantas menambahkan,
banjir ketiga terjadi pada 8.500 tahun lalu. Benua Sundaland akhirnya tenggelam
sepenuhnya karena air naik lagi 20 meter. Terbentuklah jajaran pulau-pulau
Indonesia, dan Semenanjung Malaysia terpisah dengan Nusantara.
Meskipun naik perlahan, Oppenheimer
mengatakan kenaikan air laut ini sangat berpengaruh kepada seluruh manusia
penghuni Sundaland. Mereka pun terpaksa berimigrasi, menyebar ke seluruh dunia.
Pandangan kontroversial dari
Oppenheimer ditanggapi beragam oleh para koleganya. Sebagian arkeolog percaya
pada bukti-bukti yang dikemukakan Oppenheimer, sementara sejumlah arkeolog yang
tetap yakin bahwa orang Indonesia berasal dari Taiwan. Tapi belakangan ini
sejumlah arkeolog juga menunjukkan bukti betapa keterampilan lokal, seperti
berlayar dan menangkap ikan, telah ada sepuluh ribu tahun lalu, dan bercocok
tanam di Indonesia sudah ada lebih dari empat ribu tahun lalu.
Belakangan, kelompok peneliti yang
merupakan teman sejawat dari University of Oxford dan University of Leeds
mengumumkan hasil penelitiannya dalam jurnal “Molecular Biology and
Evolution” edisi Maret dan Mei 2008 dalam makalah berjudul:
“Climate Change and Postglacial
Human Dispersals in Southeast Asia” (Soares et al., 2008) dan “New DNA
Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia”
(Richards et al., 2008).
Richards et al. (2008) berdasarkan
penelitian DNA menantang teori konvensional saat ini bahwa penduduk Asia
Tenggara saat ini (Filipina, Indonesia, dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000
(Neolitikum) tahun yang lalu. Tim peneliti menunjukkan justru yang terjadi
adalah sebaliknya dan lebih awal, bahwa penduduk Taiwan berasal dari penduduk
Sundaland yang bermigrasi akibat Banjir Besar di Sundaland.
Pemecahan garis-garis mitochondrial
DNA (yang diwarisi para perempuan) telah berevolusi cukup lama di Asia Tenggara
sejak manusia modern pertama kali datang ke wilayah ini sekitar 50.000 tahun
yang lalu.
Ciri garis-garis DNA menunjukkan
penyebaran populasi pada saat yang bersamaan dengan naiknya muka laut di
wilayah ini dan juga menunjukkan migrasi ke Taiwan, ke timur ke New Guinea dan
Pasifik, dan ke barat ke daratan utama Asia Tenggara – dalam 10.000 tahun.
Sementara itu Soares et al. (2008)
menunjukkan bahwa haplogroup E, suatu komponen penting dalam keanekaragaman
mtDNA (DNA mitokondria), berevolusi selama 35.000 tahun terakhir, dan secara
dramatik tiba-tiba menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia Tenggara pada periode
sekitar awal Holosen, pada saat yang bersamaan dengan tenggelamnya Sundaland
menjadi laut-laut Jawa, Malaka, dan sekitarnya. Lalu komponen ini mencapai
Taiwan dan Oceania lebih baru, sekitar 8000 tahun yang lalu. Ini membuktikan
bahwa global warming dan naiknya permukaan laut di ujung Zaman Es 15.000–7.000
tahun yang lalu, sebagai penggerak utama human diversity di wilayah ini.
Nah, kini Anda lebih percaya kepada
teori yang mana?
Apakah condong kepada pendapat yang
selama ini dipegang oleh mayoritas sejarawan bahwa nenk moyang orang
Minangkabau berasal dari Melayu Purba yang membawa kebudayaan Dongson, atau
teori Oppenheimer yang beranggapan sebaliknya, justru penduduk Sundaland
(Nusantara) yang bermigrasi ke Taiwan dan lain-lain akibat Banjir Besar di
Sundaland? Kalau Anda setuju dengan Oppenheimer, artinya bangsa kita yang
menjadi saudara tua dari bangsa Cina, Taiwan dan Jepang.
Wallahualam.
Daftar
Ke Pustakaan
Sejarah
Minangkabau, Drs. M.D. Mansoer dkk, Bhratara, 1970
Nadra,
Daerah Pertama Yang Didiami oleh Orang Minangkabau Berdasarkan Bukti Linguistis:
Kajian Awal, 1999
Herwandi,
Limopuluah Koto Luhak Nan Tuo: Menhir, Jejak Budaya Minangkabau Membalik
Paradigma Tradisional, 2006
http://blogs.itb.ac.id/iban/2012/01/31/sundaland-part-2/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar